Penyair terkemuka Indonesia WS Rendra, yang turut berpengaruh di Malaysia, meninggal dunia di sebuah hospital di Jakarta malam tadi setelah lebih sebulan dirawat kerana penyakit jantung.
Rendra, 74, yang juga dikenali 'Si Burung Merak' meninggal dunia pada 10.15 malam tadi dengan meninggalkan 11 orang anak daripada tiga isteri - dua daripadanya sudah diceraikan, lapor Bernama .
Setelah memeluk Islam pada Ogos 1970 ketika menikahi isteri keduanya Sitoresmi Prabuningrat, beliau menukar namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra daripada nama asalnya Willibrodus Surendra Broto Renda.
Selain sajak-sajaknya, Rendra juga dikenali ramai di Malaysia melalui filem bertema agama yang dilakoninya Al Kautsar pada 1980-an.
Jenazah allahyarham dijadual dikebumikan selepas solat Jumaat di Bengkel Teater, Citayam, Depok dekat Jakarta, lapor agensi berita itu lagi.
Lokasi persemadian Rendra ini tidak jauh dari kubur sahabatnya Mbah Surip, penyanyi reggae yang mendadak popular di Indonesia dengan lagu "Tak Gendong" yang meninggal dunia Selasa lepas.
Rendra beberapa kali memperoleh anugerah dalam bidang sastera, antaranya Penghargaan Adam Malik pada 1989, SEA Write Award pada 1996 dan Penghargaan Achmad Bakri pada 2006.
Berikut catatan ringkas perjalanan hidup tokoh seniman ini seperti dimuatkan di Wikipedia :
Sebagai sasterawan
Bakat sastera Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku sekolah. Saat itu beliau sudah mulai menunjukkan kemampuannya menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk pelbagai kegiatan sekolahnya.
Bukan hanya menulis, beliau juga boleh berlakon di pentas. Rendra mementaskan beberapa dramanya, terutamanya tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Pertama kali menerbitkan puisinya di media massa pada 1952 melalui majalah Siasat . Setelah itu, puisi-puisinya terus muncul di majalah waktu itu seperti Kisah , Seni , Basis , Konfrontasi , dan Siasat Baru sehingga dua dekad selepas itu, tahun 1960-an dan tahun 1970-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di sekolah dan Orang-Orang di Tikungan Jalan pula drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Jabatan Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Penghargaan itu membuatnya sangat bersemangat untuk berkarya.
Prof A Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahawa dalam sejarah kesusasteraan Indonesia, Rendra tidak termasuk dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an.
Daripada karya-karyanya, terlihat Rendra mempunyai keperibadian dan kebebasan tersendiri.
Karya-karyanya tidak hanya dikenali di republik itu tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya sudah diterjemahkan ke bahasa asing, antaranya bahasa Inggeris, Belanda, Jerman, Jepun dan India.
Beliau juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Pada 1961, sebaik sahaja pulang dari Amerika Syarikat, Rendra mendirikan kumpulan teater di Yogyakarta tetapi ia terhenti kerana kembali semula ke negara itu. Ketika pulang semula ke Indonesia (1968), budayawan itu membentuk kembali kumpulan dinamakan Bengkel Teater.
Bengkel Teater sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air dan menjadi pangkalan kegiatan keseniannya.
Kontroversi 'Si Burung Merak'
Pada usia 24 tahun, Rendra bertemu cinta pertamanya dengan Sunarti Suwandi. Daripada wanita itu yang dikahwininya pada 1959, beliau mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Klara Sinta.
Seorang muridnya Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, puteri berketurunan istana Yogyakarta yang bergiat aktif di Bengkel Teater.
Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, pada awalnya antara lain menjaga empat anak Rendra-Sunarti tetapi kemudian bertukar cinta.
Ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi isteri kedua dan Sito menerimanya. Namun ayah wanita itu tidak mengizinkan anaknya, yang beragama Islam, berkahwin dengan seorang pemuda Katolik tetapi ia tidak menjadi halangan besar bagi Rendra.
Seniman itu mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Ogos 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastera republik itu penyair Taufiq Ismail dan pengkritik Ajip Rosidi.
Peristiwa itu mengundang reaksi sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk berpoligami.
Menjawabnya, Rendra beralasan bahawa beliau sudah lama tertarik pada Islam, terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji , beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito.
Beliau juga menjawab dengan lebih tegas: bagi Rendra, Islam memuaskan persoalan pokok yang menghantuinya selama ini tentang kemerdekaan individu sepenuhnya.
"Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai," katanya sambil mengutip ayat al-Quran, yang menyatakan bahawa Allah lebih dekat daripada urat leher seseorang.
Bergelut dengan kontroversi kehidupan poligaminya, suatu ketika sewaktu melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya di sebuah zoo Yogyakarta, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak dan dilaporkan berkata "itu Rendra! Itu Rendra!"
Sejak itu jolokan 'Si Burung Merak' melekat padanya hingga kini. Bersama Sitoresmi, beliau mendapat empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi dan Rachel Saraswati.
Tetapi Si Burung Merak tidak puas dengan dua pasangan dan menyunting pula Ken Zuraida, isteri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.
Tapi pernikahan itu mencetuskan pergolakan yang berakhir dengan tindakan Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti dua tahun kemudian.
Senarai karya Rendra termasuklah drama dan puisi :
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan karya William Shakespeare)
Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare)
Oedipus Sang Raja (terjemahan karya Sophokles)
Lisistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (terjemahan karya Sophokles),
Antigone (terjemahan karya Sophokles),
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan karya Jean Giraudoux) Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga
Puisi
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Jangan Takut Ibu
Mencari Bapak
Nyanyian Angsa
Pamphleten van een Dichter
Perjuangan Suku Naga
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Rick dari Corona
Rumpun Alang-alang
Sajak Potret Keluarga
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
State of Emergency
Surat Cinta